Tips Menjadi Pengajar yang Baik

Mengkaji ilmu islam merupakan aktivitas untuk mengetahui lebih dalam ilmu islam melalui berbagai referensi, baik itu belajar dari guru atau dari buku. Aktivitas mengkaji ilmu islam tidak hanya terjadi dikalangan ibu-ibu atau pelajar di sekolah-sekolah islam saja, tetapi di beberapa universitas yang tidak memiliki jurusan syariah sekalipun mempunyai program untuk mengkaji ilmu islam ini, entah itu namanya halaqah, mentoring, dan lain sebagainya.
Nah di kampus saya pun – UNPAS – juga terdapat program mengkaji ilmu islam tersebut, namanya mentoring. Biasanya dalam mentoring, kegiatan mengkaji ilmu islam itu melibatkan sesama mahasiswa, yang satu berperan sebagai pementor - dalam istilah mentoring, pementor itu guru - yang lainnya berperan sebagai mentee - dalam istilah mentoring, mentee itu murid. Nah pada kegiatan mentoring tahun 2014 ini, saya berperan sebagai pementor.
Agar dapat menjadi pementor yang baik , saya dan teman-teman saya sesama pementor  mendapatkan pelatihan “menjadi pementor yang baik” yang dibawakan oleh kang fahmi(beliau gamau disebut ustad),
Saya ingin menuliskan kembali beberapa tips dari beliau untuk menjadi pementor yang baik, siapa tau dapat bermanfaat bagi para pembaca. Dengan beberapa penambahan dari saya, berikut tipsnya :

1)      Ciptakan suasana keakraban dengan murid/mentee, maksudnya kita harus dapat membaur dengan junior kita, jangan berbicara terlalu formal dengan mereka gunakan bahasa yang santai,

2)      Jangan merasa paling pintar, dengan merasa paling pintar kita membuat suasana menjadi kaku dan juga membuat mentee tidak nyaman. Seharusnya kita berusaha untuk menjadi moderator dengan memancing para mentee mengeluarkan pengetahuannya, daripada kita merasa menjadi sesepuh paling pintar

3)      Atur pernapasan, agar saat berbicara suara kita jelas dan tegas, dengan suara yang jelas dan tegas pesan akan dapat tersampaikan ke banyak mentee, sehingga suara kita tidak hanya didengar oleh orang terdekat kita saja

4)      Sebelum memulai pertemuan, sebaiknya kita telah membuat perencanaan atau tulisan ringkas mengenai point-point materi yang akan kita sampaikan agar alur kegiatan mengkaji islam kita dapat terukur sesuai yang kita harapkan. Kita sudah menetapkan target buat mentee, mereka bakal mendapatkan “apa” setelah pertemuan berakhir.

5)      Selalu membaca referensi, sehingga kita tidak merasa cukup dengan ilmu kita sekarang, dengan makin membaca berarti makin banyak yang akan kita bagikan kepada mentee kita.


Itulah beberapa tipsnya dan sebenarnya kesemua tips diatas akan menjadi kokoh jikalau kita meniatkan kegiatan mentoring tersebut sebagai ibadah, karena niat adalah pondasinya, masyaAllah !

Niat Shalat


Kita mulai dari niat, niat merupakan rukun pertama dalam ibadah shalat  -dan juga semua  ibadah  ritual  lainnya- adalah  niat.  Sebuah  ibadah  tanpa  niat  tidak dinilai sebagai ibadah oleh Allah SWT.

Masalahnya… niat itu seperti apa sih?

Sudah menjadi perdebatan panjang sejak zaman penjajahan  dahulu tentang hukum membaca ushalli. Sebagian kalangan  dari  umat  Islam  mengharuskannya  dan  berkeyakinan bahwa  shalat  yang tidak  diawali dengan membaca  ushalli adalah shalat yang  tidak sah.

Sementara  yang  lainnya  malah  menolak  dan  justru  berfatwa  sebaliknya,  mereka  memvonis  bahwa  shalat  pakai  ushalliadalah bid’ah dan berdosa kalau dikerjakan.  Di  masa  lalu,  khususnya  di  pedalaman  dan  desa-desa,  urusan  perdebatan  masalah  ushalli ini  cukup  sering  dijadikan  bahan saling mengejek dan menghina antara satu elemen umat  Islam dengan yang lainnya.

Lalu  bagaimana  sebenarnya  kedudukan  ushalli ini  dalam  pandangan ilmu fiqih perbandingan mazhab? Sesungguhnya  istilah  ushalli ini  bukan  istilah  yang  lazim  digunakan  dalam  literatur  ilmu  fiqih.  Yang baku  adalah  istilah at-talaffudz bi an-niyyah(ﺔﯿﻨﻟﺎﺑ ﻆﻔﻠﺘﻟا), yaitu melafadzkan niat.

Jadi tempat Niat itu ada di Dalam Hati

Dan  sebenarnya  seluruh  ulama  dari  empat  mazhab  sudah  sepakat bahwa yang namanya niat itu terletak di dalam hati dan  bukan di lidah. Setidaknya, begitulah yang mereka definisikan,  sebagaimana  tercantum  di  atas.  Tidak  satu  pun  dari  ulama  mazhab yang menyebutkan bahwa niat itu adalah melafadzkan  suatu teks tertentu di lidah kita.
Sehingga  semua  sepakat,  bahwa  orang  yang  melafadzkan  niat  shalat,  tetapi  di  hatinya  sama  sekali  tidak  berniat  untuk  shalat, maka apa yang diucapkannya itu sama sekali bukan niat

Jadi Bolehkah kita Melafadzkan niat?

Pada  dasarnya  kita  tidak  menemukan  ada  contoh melafadzan  niat  shalat  ini  dari  hadits-hadits  nabawi,  atau  dari atsar pada  shahabat.  Kalau  pun  ada,  sebagian  kalangan mengambil qiyas dari jenis ibadah yang lain, seperti ibadah haji, dimana  Rasulullah  SAW melafadzkan  kalimat  :

Labbaikallahummah  hajjan (ﺎﺠﺣ  ﻢﮭﻠﻟا  ﻚﯿﺒﻟ). 

Oleh  sebagian  kalangan, ucapan  beliau  SAW itu  dianggap  melafadzkan  niat  dalam melaksanakan  ibadah  haji.  Lalu  diqiyaskan  lafadz  in  dengan lafadz niat dalam ibadah shalat.


 Lalu  pertanyaan  yang  paling  esensial,  apa  hukum melafadzkan  niat  itu  sendiri.  Apakah  sunnah  atau  sebaliknya malah menjadi makruh? Dalam  hal  ini  ternyata  para  ulama  berbeda  pendapat.

·         Mazhab  Asy-Syafi’iyah  dan  Al-Hanabilah  berpendapat hukumnya sunnah dengan tujuan agar apa yang di lidah itu sesuai dengan apa yang di hati.
·         Pada  posisi  tengah-tengah  ada  mazhab  Al-Malikiyah  yang berpendapat  membolehkannya.  Namun jika ditinggalkan dianggap  lebih  baik  dan  lebih utama. Dengan pengecualian dalam kasus seorang yang  punya penyakit  selalu  ragu-ragu,  maka  mereka  lebih  utama  bila melafadzkan niat shalat.

·         Namun  sebagian  ulama  dari  mazhab  Al-Hanafiyah  dan sebagian ulama mazhab Al-Hanabilah memakruhkannya


Demikian pembahasan rukun shalat bagian niat.

referensi :
Seri Fiqih Kehidupan Shalat : oleh Ust Ahmad Sarwat

Blogger news

Blogroll

Blogger templates

About