Kita mulai dari
niat, niat merupakan rukun pertama dalam ibadah shalat -dan juga semua ibadah
ritual lainnya- adalah niat.
Sebuah ibadah tanpa
niat tidak dinilai sebagai ibadah
oleh Allah SWT.
Masalahnya… niat itu seperti apa sih?
Sudah menjadi
perdebatan panjang sejak zaman penjajahan
dahulu tentang hukum membaca ushalli. Sebagian kalangan dari
umat Islam mengharuskannya dan
berkeyakinan bahwa shalat yang tidak
diawali dengan membaca ushalli
adalah shalat yang tidak sah.
Sementara yang
lainnya malah menolak
dan justru berfatwa
sebaliknya, mereka memvonis
bahwa shalat pakai
ushalliadalah bid’ah dan berdosa
kalau dikerjakan. Di masa
lalu, khususnya di
pedalaman dan desa-desa,
urusan perdebatan masalah
ushalli ini cukup sering
dijadikan bahan saling mengejek
dan menghina antara satu elemen umat
Islam dengan yang lainnya.
Lalu bagaimana
sebenarnya kedudukan ushalli ini
dalam pandangan ilmu fiqih
perbandingan mazhab? Sesungguhnya
istilah ushalli ini bukan
istilah yang lazim
digunakan dalam literatur
ilmu fiqih. Yang baku
adalah istilah at-talaffudz bi
an-niyyah(ﺔﯿﻨﻟﺎﺑ ﻆﻔﻠﺘﻟا), yaitu melafadzkan
niat.
Jadi tempat Niat itu ada di Dalam Hati
Dan sebenarnya
seluruh ulama dari
empat mazhab sudah
sepakat bahwa yang namanya niat itu terletak di dalam hati dan bukan di lidah. Setidaknya, begitulah yang
mereka definisikan, sebagaimana tercantum
di atas. Tidak
satu pun dari
ulama mazhab yang menyebutkan
bahwa niat itu adalah melafadzkan suatu
teks tertentu di lidah kita.
Sehingga semua
sepakat, bahwa orang
yang melafadzkan niat
shalat, tetapi di
hatinya sama sekali
tidak berniat untuk
shalat, maka apa yang diucapkannya itu sama sekali bukan niat
Jadi Bolehkah kita Melafadzkan niat?
Pada dasarnya
kita tidak menemukan
ada contoh melafadzan niat
shalat ini dari
hadits-hadits nabawi, atau
dari atsar pada shahabat. Kalau
pun ada, sebagian
kalangan mengambil qiyas dari jenis ibadah yang lain, seperti ibadah
haji, dimana Rasulullah SAW melafadzkan kalimat
:
Labbaikallahummah hajjan (ﺎﺠﺣ ﻢﮭﻠﻟا ﻚﯿﺒﻟ).
Oleh sebagian
kalangan, ucapan beliau SAW itu
dianggap melafadzkan niat
dalam melaksanakan ibadah haji.
Lalu diqiyaskan lafadz in
dengan lafadz niat dalam ibadah shalat.
·
Mazhab
Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah
berpendapat hukumnya sunnah
dengan tujuan agar apa yang di lidah itu sesuai dengan apa yang di hati.
·
Pada
posisi tengah-tengah ada
mazhab Al-Malikiyah yang berpendapat membolehkannya. Namun jika ditinggalkan dianggap lebih
baik dan lebih utama. Dengan pengecualian dalam kasus
seorang yang punya penyakit selalu
ragu-ragu, maka mereka
lebih utama bila melafadzkan niat shalat.
·
Namun
sebagian ulama dari
mazhab Al-Hanafiyah dan sebagian ulama mazhab Al-Hanabilah memakruhkannya
Demikian pembahasan rukun shalat bagian niat.
referensi :
Seri Fiqih Kehidupan Shalat : oleh Ust Ahmad Sarwat